Minggu, 05 April 2015

PRAM DALAM DIALETIKA MODAL



Posted in Yogyakarta 01 Apr 2014
Oleh : DHARMA SETYAWAN
Pramoedya Ananta Toer telah lama mengeja dalam karya sastranya tentang konflik modal era feodalisme dan kolonialisme. Pram memang kencang sinis dan begitu hebat membenci kapitalisme yang membingkai kebodohan para pecundang priayi. Sebagaimana ditafsirkannya, para priayi yang terlahir dari
perkawinan kolonialisme dan feodalisme menjadikan embrio priayi sebagai kepanjangan dari politik birokrasi kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda. Bukan hanya soal rempah-rempah dan hasil tambang Indonesia bentuk praktek seperti ini terjadi, lebih dari itu adalah upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk merebut paksa modal dan melanggengkan kolonialisme yang begitu masif. Brirokrasi yang dijalankan para priayi telah lama menghancurkan kelas menengah pribumi yang sulit berkembang. Bentuk perkawinan kolonialisme dan feodalisme ini telah melahirkan budaya panutan, dimana rakyat ikut atas pikiran para priayi. Sehingga mereka dibiarkan sibuk menderita dalam erosi modal dan kebodohan yang gelap.
Modal dalam pergulatan panjang menjadi mata air yang berharga demi memuaskan dahaga Eropa ratusan tahun yang lalu. Alih-alih dahaga itu sembuh, malah sumber air hancur beserta habitat sekitar yang meraung-raung kekeringan batin. Modal telah menjadi malapetaka antar bangsa yang saling agresif memangsa. Modal semakin menjadi alasan pertarungan antara individu dan individu, antar individu dan kelompok atau antar kelompok dan kelompok. Modal kian merasuk dalam tubuh segelintir individu dan juga korporasi (perusahaan multinasional). Modal menjadi tujuan hegemoni paling ramai pada perebutan jalan panjang manusia berbangsa. Ekonomi menjadi sumpek bagi mayoritas rakyat yang sejak awal keras membanting tulang. Lebih jauh Pram menggali semakin dalam dengan narasi sastra “Anak Semua Bangsa” yang menjadi bagian dari tetralogi buru. Novel ini adalah kelanjutan setelah Masterpeace “Bumi Manusia”. Karya ini adalah wawasan kebangsaan yang dipantik dalam balutan sastra ala Pram untuk menyadarkan semua tentang membangun keadaban.
Definisi modal diracik dalam dialektika yang ranum. Ter Har sebagai tokoh yang mencerca Minke dengan tema modal membukakan arti penting bahwa kapitalisme adalah gejolak perih berabad-abad lamanya. “Yang dikatakan modal lebih dari pada hanya uang, Tuan. Sesuatu yang mujarad, abstrak, punya kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamanya. Yang basah dia bikin kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia. Membosankan memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan, saluran dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh dan perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.” (Anak Semua Bangsa : 395).
Sejarah panjang itu kini tidak berubah arah. Kelas Priayi masa itu menjadi birokrasi kolonial sekarang berganti rupa dengan pemerintahan yang tetap menyenangkan modal multinasional. Jika dulu bangsa priayi banyak menguras kekayaan alam di luar jawa untuk memberi pundi modal pada Batavia (ibukota Hindia Belanda saat itu), kini pun pemerintah di daerah bersama priayi aparat menjadi alat hisab masif tambang untuk menjadi lahan korupsi pemerintah pusat. Kelas Priayi masa lampau menggunakan cara-cara kekerasan bahkan dengan mengirim para jawara-jawara jawa untuk merebut rempah-rempah Sumatra, Kalimantan dan lainnya. Kini perampasan tambang itu lebih dilegetimasi oleh para pihak-pihak militer yang dengan rapih dan sigap mengamankan perusahaan tambang atas kongkalikong pejabat dan modal asing jika terjadi perlawanan rakyat. Tiada yang membedakan bentuk-bentuk mental kolonialisme tersebut.
Perlawanan yang dilakukan Aceh ditegaskan Pram sebagai daerah yang tidak mampu ditembus oleh Belanda walaupun telah mengirim berjuta gulden, para priayi, dan juga senjata dan para jawara jawa. Aceh tetap tegar berdiri dengan gagah hingga saat ini dijajah halus oleh pemerintahnya sendiri. Merdeka atau dalam suasana kolonialisme, Aceh dan daerah lainnya di Indonesia belum menemukan keadilannya sebagai bagian dari Indonesia. Andaikan tidak adanya sikap ber-Tuhan dan nasionalisme kebangsaan tentu Aceh layak merdeka dengan berbagai ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonialisme ataupun pemerintah pasca merdeka. Begitupun dengan Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang dengan warisan kolonialisme. Pemimpin negeri ini rela menembaki rakyatnya dengan senjata yang diambil dari pembayaran pajak mereka. Militer hari ini begitu setia pada birokrasi bermental kolonial dan semakin menegaskan bahwa perkawinan kolonialisme dan feodalisme dulu masih terus melahirkan priayi-priayi modern yang bersenjatakan timah panas.
Tentang modal Pram begitu jernih mengulas siapa sebenarnya para priayi masa kini dan masa depan. Mereka yang menggunakan kekerasan, cara-cara menakuti para rakyatnya, birokrasi korup, menjual harga diri demi sebuah percikan kecil modal dari system Kapitalisme, bermain kasta, menuding para jelata adalah generasi para priayi modern. Dalam khotbah sastranya Pram melalui tokoh Miriam dan Minke berdialek mengenai ajakan menjaga keadaban bangsa. Ajakan untuk lebih manusiawi dan membuang nurani Iblis bangsa Jawa, Hindia, Eropa dan dunia. Miriam kepada Minke berucap,“Mari kita bekerjasama melakukan apa saja yang baik untuk Jawa, Hindia, Eropa dan Dunia. Kita perangi bersama-sama kejahatan Eropa, Jawa, Hindia dan dunia bersama-sama. Sebagaimana telah dilakukan para humanis besar sebelum kita, dan khusunya Multatuli dengan hidupnya yang menderita selama itu. (Anak Semua Bangsa : 145).
Pram memang begitu cinta Indonesia, dia memang Indonesianis yang sulit untuk terlahir kembali. Sastrawan jenial yang berfikir mesra dengan sastra. Menarasikan persoalan yang rumit dalam nalar sederhana namun mendalam. Pram memang bukan ekonom, tapi dia sadar bahwa penghianatan adalah iblis yang kejam dalam melawan kolonialisme dan feodalisme. Sebagai penggemar Multatuli, Pram mengajak kita semua mendalami lebih spesifik apa penyebab modal bangsa ini baik moral maupun material selalu hilang dan terkuras. Kesalahan buhan hanya pada penjajah, tapi ada segelintir mental para pribumi yang berubah kelas dan ikut menjadi penjajah. Penjajah terselubung faktanya lebih berbahaya. Karena Soekarno pun begitu keras menggambarkan bahwa musuh di pasca kemerdekaan memiliki kulit, mata, hidung dan tubuh yang sama dengan kita. Berbeda dengan para kolonial Hindia Belanda yang bertubuh besar, berhidung mancung dan berkulit putih tentu kita dapat jelas mengenalinya.
Pram juga menggambarkan bagaimana falsafah Jepang begitu menyiratkan perlawanan akan hegemoni modal. Walaupun Jepang juga menjajah Indonesia 3,5 tahun dengan sangat pahit. Namun sejarah Jepang adalah buah fikir dan komitmen Jepang untuk bangkit mandiri dan menjadi bangsa besar. Pram mengungkapkan “Negeri Matahari Terbit, Negeri Kaisar Meiji itu berseru pada perantaunnya, menganjurkan : belajar berdiri sendiri! Jangan hanya jual tenaga pada siapapun! Ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun; tak ada modal berserikat, bentuk modal! Belajar bekerjasama! Bertekun dalam pekerjaan! (Anak Semua Bangsa : 59)
Dialektika modal ini belum selesai, sampai kapanpun. Sampai kita yakin, dan setelah sadar nanti, setelah besar nanti, setelah makmur nanti kita tidak akan menggunakan kekuatan kita untuk menghegemoni bangsa lain. Kita tidak akan menjadi bangsa pendendam jika kelak kita adalah bangsa beradab. Sebagaimana cita-cita Pram yang akan sama-sama berkerjasama dengan bangsa siapapun untuk mengusir Iblis dari percokolannya di dunia modal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar