Posted in Yogyakarta 01
Apr 2014
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Pramoedya Ananta Toer telah lama mengeja dalam karya
sastranya tentang konflik modal era feodalisme dan kolonialisme. Pram memang
kencang sinis dan begitu hebat membenci kapitalisme yang membingkai kebodohan
para pecundang priayi. Sebagaimana ditafsirkannya, para priayi yang terlahir
dari
perkawinan kolonialisme dan feodalisme menjadikan embrio priayi sebagai
kepanjangan dari politik birokrasi kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda.
Bukan hanya soal rempah-rempah dan hasil tambang Indonesia bentuk praktek
seperti ini terjadi, lebih dari itu adalah upaya Pemerintah Hindia Belanda
untuk merebut paksa modal dan melanggengkan kolonialisme yang begitu masif.
Brirokrasi yang dijalankan para priayi telah lama menghancurkan kelas menengah
pribumi yang sulit berkembang. Bentuk perkawinan kolonialisme dan feodalisme
ini telah melahirkan budaya panutan, dimana rakyat ikut atas pikiran para
priayi. Sehingga mereka dibiarkan sibuk menderita dalam erosi modal dan
kebodohan yang gelap.Modal dalam pergulatan panjang menjadi mata air yang berharga demi memuaskan dahaga Eropa ratusan tahun yang lalu. Alih-alih dahaga itu sembuh, malah sumber air hancur beserta habitat sekitar yang meraung-raung kekeringan batin. Modal telah menjadi malapetaka antar bangsa yang saling agresif memangsa. Modal semakin menjadi alasan pertarungan antara individu dan individu, antar individu dan kelompok atau antar kelompok dan kelompok. Modal kian merasuk dalam tubuh segelintir individu dan juga korporasi (perusahaan multinasional). Modal menjadi tujuan hegemoni paling ramai pada perebutan jalan panjang manusia berbangsa. Ekonomi menjadi sumpek bagi mayoritas rakyat yang sejak awal keras membanting tulang. Lebih jauh Pram menggali semakin dalam dengan narasi sastra “Anak Semua Bangsa” yang menjadi bagian dari tetralogi buru. Novel ini adalah kelanjutan setelah Masterpeace “Bumi Manusia”. Karya ini adalah wawasan kebangsaan yang dipantik dalam balutan sastra ala Pram untuk menyadarkan semua tentang membangun keadaban.
Definisi modal diracik dalam dialektika yang ranum. Ter Har
sebagai tokoh yang mencerca Minke dengan tema modal membukakan arti penting
bahwa kapitalisme adalah gejolak perih berabad-abad lamanya. “Yang dikatakan
modal lebih dari pada hanya uang, Tuan. Sesuatu yang mujarad, abstrak, punya
kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang
berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang
beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamanya. Yang basah dia bikin
kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia.
Membosankan memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan,
hubungan, saluran dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan,
pengaruh dan perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan
atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.” (Anak Semua Bangsa : 395).
Sejarah
panjang itu kini tidak berubah arah. Kelas Priayi masa itu menjadi birokrasi
kolonial sekarang berganti rupa dengan pemerintahan yang tetap menyenangkan
modal multinasional. Jika dulu bangsa priayi banyak menguras kekayaan alam di
luar jawa untuk memberi pundi modal pada Batavia (ibukota Hindia Belanda saat
itu), kini pun pemerintah di daerah bersama priayi aparat menjadi alat hisab
masif tambang untuk menjadi lahan korupsi pemerintah pusat. Kelas Priayi masa
lampau menggunakan cara-cara kekerasan bahkan dengan mengirim para
jawara-jawara jawa untuk merebut rempah-rempah Sumatra, Kalimantan dan lainnya.
Kini perampasan tambang itu lebih dilegetimasi oleh para pihak-pihak militer
yang dengan rapih dan sigap mengamankan perusahaan tambang atas kongkalikong
pejabat dan modal asing jika terjadi perlawanan rakyat. Tiada yang membedakan
bentuk-bentuk mental kolonialisme tersebut.
Perlawanan yang dilakukan Aceh ditegaskan Pram sebagai daerah
yang tidak mampu ditembus oleh Belanda walaupun telah mengirim berjuta gulden,
para priayi, dan juga senjata dan para jawara jawa. Aceh tetap tegar berdiri
dengan gagah hingga saat ini dijajah halus oleh pemerintahnya sendiri. Merdeka
atau dalam suasana kolonialisme, Aceh dan daerah lainnya di Indonesia belum
menemukan keadilannya sebagai bagian dari Indonesia. Andaikan tidak adanya
sikap ber-Tuhan dan nasionalisme kebangsaan tentu Aceh layak merdeka dengan
berbagai ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonialisme ataupun pemerintah
pasca merdeka. Begitupun dengan Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang dengan
warisan kolonialisme. Pemimpin negeri ini rela menembaki rakyatnya dengan
senjata yang diambil dari pembayaran pajak mereka. Militer hari ini begitu
setia pada birokrasi bermental kolonial dan semakin menegaskan bahwa perkawinan
kolonialisme dan feodalisme dulu masih terus melahirkan priayi-priayi modern
yang bersenjatakan timah panas.
Tentang
modal Pram begitu jernih mengulas siapa sebenarnya para priayi masa kini dan
masa depan. Mereka yang menggunakan kekerasan, cara-cara menakuti para
rakyatnya, birokrasi korup, menjual harga diri demi sebuah percikan kecil modal
dari system Kapitalisme, bermain kasta, menuding para jelata adalah generasi
para priayi modern. Dalam khotbah sastranya Pram melalui tokoh Miriam dan Minke
berdialek mengenai ajakan menjaga keadaban bangsa. Ajakan untuk lebih manusiawi
dan membuang nurani Iblis bangsa Jawa, Hindia, Eropa dan dunia. Miriam kepada
Minke berucap,“Mari kita bekerjasama melakukan apa saja yang baik untuk Jawa,
Hindia, Eropa dan Dunia. Kita perangi bersama-sama kejahatan Eropa, Jawa,
Hindia dan dunia bersama-sama. Sebagaimana telah dilakukan para humanis besar
sebelum kita, dan khusunya Multatuli dengan hidupnya yang menderita selama itu.
(Anak Semua Bangsa : 145).
Pram memang begitu cinta Indonesia, dia memang Indonesianis
yang sulit untuk terlahir kembali. Sastrawan jenial yang berfikir mesra dengan
sastra. Menarasikan persoalan yang rumit dalam nalar sederhana namun mendalam.
Pram memang bukan ekonom, tapi dia sadar bahwa penghianatan adalah iblis yang
kejam dalam melawan kolonialisme dan feodalisme. Sebagai penggemar Multatuli,
Pram mengajak kita semua mendalami lebih spesifik apa penyebab modal bangsa ini
baik moral maupun material selalu hilang dan terkuras. Kesalahan buhan hanya
pada penjajah, tapi ada segelintir mental para pribumi yang berubah kelas dan
ikut menjadi penjajah. Penjajah terselubung faktanya lebih berbahaya. Karena
Soekarno pun begitu keras menggambarkan bahwa musuh di pasca kemerdekaan
memiliki kulit, mata, hidung dan tubuh yang sama dengan kita. Berbeda dengan
para kolonial Hindia Belanda yang bertubuh besar, berhidung mancung dan
berkulit putih tentu kita dapat jelas mengenalinya.
Pram juga menggambarkan bagaimana falsafah Jepang begitu
menyiratkan perlawanan akan hegemoni modal. Walaupun Jepang juga menjajah
Indonesia 3,5 tahun dengan sangat pahit. Namun sejarah Jepang adalah buah fikir
dan komitmen Jepang untuk bangkit mandiri dan menjadi bangsa besar. Pram
mengungkapkan “Negeri Matahari Terbit, Negeri Kaisar Meiji itu berseru pada
perantaunnya, menganjurkan : belajar berdiri sendiri! Jangan hanya jual tenaga
pada siapapun! Ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun;
tak ada modal berserikat, bentuk modal! Belajar bekerjasama! Bertekun dalam
pekerjaan! (Anak Semua Bangsa : 59)
Dialektika modal ini belum selesai,
sampai kapanpun. Sampai kita yakin, dan setelah sadar nanti, setelah besar
nanti, setelah makmur nanti kita tidak akan menggunakan kekuatan kita untuk
menghegemoni bangsa lain. Kita tidak akan menjadi bangsa pendendam jika kelak
kita adalah bangsa beradab. Sebagaimana cita-cita Pram yang akan sama-sama
berkerjasama dengan bangsa siapapun untuk mengusir Iblis dari percokolannya di
dunia modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar