ABSTRAKSI
Upaya pengentasan
kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan
itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap
sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga keuangan bank maupun lembaga mikro. Lembaga keuangan mikro yang
saat ini sedang fenomenal adalah Grameen Bank (GB) yang diprakarsa Muhammad
Yunus di Bangladesh. Setelah Yunus mendapat Nobel Perdamaian dari PBB, Grameen
kemudian mendunia.
Tulisan ini
mencoba untuk menelisik lebih jauh tentang Model Pemberdayaan Masyarakat
Grameen, dampak positif-negatif hingga pandangan Ekonomi Islam tentangnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa sisi positif GB nampak jelas
terlihat, meski beberapa hal tidak sejalan dengan prinsip ekonomi Islam: bunga
yang relatif tinggi dan womensentris.
JEL
Classification: G23, G28, I32
Keywords: Pemberdayaan Masyarakat, UKM, Grameen, Ekonomi
Islam
I.
PENDAHULUAN
Konsep
“pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan
sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan.
Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian
perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke
tataran pelaksanaannya.
Pemberdayaan
menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama
ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua,
ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin
semakin banyak, gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan
hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun semakin
diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan
konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.
Pemberdayaan
amat dekat dengan konsep kemiskinan. Kemiskinan biasanya dikenali dari
ketidakmampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan
yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin. Di sebagian negara sedang
berkembang, kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam pembangunan
ekonomi selain masalah pendapatan per kapita dan angka pengangguran. Di
Indonesia misalnya, pengalaman krisis ekonomi yang melanda pada medio 1997
menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5
juta pada 1998. Namun seiring dengan membaiknya perekonomian, pada Agustus 1999
turun lagi menjadi 37,5 juta jiwa (18,2% dari jumlah penduduk) dengan proporsi
12,4 juta jiwa berada di daerah perkotaan dan 25,1 juta ada di pedesaan. Dampak
yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah bertambahnya jumlah rumah
tangga miskin di pedesaan maupun perkotaan, rusaknya struktur sosial karena
kehilangan pekerjaan dan kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
seperti pendidikan dan kesehatan dasar.
Berikut
di bawah ini adalah data dan fakta jumlah kemiskinan berikut juga pengangguran
di Indonesia yang berhasil dihimpun dari tahun 1992 hingga tahun 2008 lalu.
Gambar 1.1 Angka
Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia
Beberapa
konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan kebutuhan
konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan
primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis untuk makan, (2) kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menjadi fenomena
negara-negara dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas
garis kemiskinan tetapi rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3)
kemiskinan massal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu
negara atau wilayah dan hal ini membuatnya menjadi kompleks dalam proses
mengatasinya.
Sedangkan
Chamber (1983) dalam Mubyarto (2004) berpandangan kemiskinan umumnya
ditandai oleh isolasi –berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan
informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan
serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian.
Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem
penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara
menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi,
barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan
yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum
bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak
memperoleh pelayanan publik yang optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan
sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak
yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Konsep
yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal
menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment
adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang
secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global
seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumber daya rakyat, inflasi,
pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai
proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan
kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan
terpinggirkan.
Kata
“empower” atau “berdaya” dalam kamus bahasa ditafsirkan sebagai “berkontribusi
waktu, tenaga, usaha melalui kegiatan-kegiatan berkenaan dengan perlindungan
hukum”, “memberikan seseorang atau sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan
sesuatu”, “menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk
melakukan sesuatu” atau “membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak”. Pada kamus
yang lain pengertian menjadi “memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan
diri”. Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi
proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas
masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang
teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan.
Paper
ini bertujuan mengamati model-model pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia
berikut karakteristik khusus dan keunikan yang dimilikinya, terutama model
pemberdayaan ala Grameen Bangladesh yang direplikasi di Indonesia, dan
bagaimana Islam memandangnya. Tulisan ini adalah penelitian studi pustaka dan
studi lapangan. Studi pustaka dengan menggunakan data-data sekunder yang telah
dipublikasi, terdiri dari: buku referensi, artikel, paper dan karya ilmiah lain,
dan studi lapangan dengan langsung menggali informasi tentang model
pemberdayaan masyarakat miskin utamanya model Grameen.
II.
TEORI
II.1. Sejarah
Pemberdayaan
Pemberdayaan
adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah
terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English
Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to
give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau
enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.
Beberapa literatur
menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau
ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance,
yaitu saat orang mulai mempertanyakan diterminisme keagamaan. Jika pemberdayaan
dipahami sebagai upaya untuk melawan diterminisme gereja, maka pendapat bahwa
gerakan pemberdayaan muncul di abad pertengahan barangkali benar.
Konsep
pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai
mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika
industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat
yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana
pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial,
kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam, dan alienasi masyarakat dari
faktor-faktor produksi oleh penguasa. Karena kekurangtepatan pemahaman mengenai
pemberdayaan, maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami
secara beragam. Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan
partisipasi. Padahal keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.
II.2. Konsep
Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan
lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi
yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka
logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari
pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi
akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3)
kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik,
sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi;
dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan
ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah
dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai.
Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan
pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of
the powerless).
Pengalaman empirik
dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomis ini telah
melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama,
pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody.
Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan
menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan
eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan,
maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah
pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan
ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse
dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang
dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar
semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga,
pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat.
Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya.
Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan
pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah
kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh
sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to
powerless.
Pemberdayaan dapat
di ukur dengan menggunakan lima parameter (womens empowerment dari Sarah
Longwe, yakni: (a) Kuasa/kekuasaan, (b) Partisipasi, (c) Kesadaran kritis, (d)
Akses atas sumber daya, dan (e) Kesejahteraan. Pemberdayaan ini pada gilirannya
adalah upaya untuk nmengubah atau meningkatakan kondisi yang berkaitan dengan
semua unsur tersebut, yang saling menunjang dan bergerak menyerupai spiral
(Hafidz dan Budiharga, 2004).
Sumber:
Hafidz dan Budiharga (2004)
Gambar
2.1 Spiral Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Karl Marx,
pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk
memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus
value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan
perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus
dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah
pemberdayaan masyarakat, maka menurut Fiedmann, pemberdayaan harus dimulai dari
rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek
sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial
adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan
dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses
ke sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah
usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan
keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan
psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang
lemah. Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai
pengertian pemberdayaan yang pada prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah
penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat
memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat
menentukan pilihan masa depannya.
Dari berbagai
pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor
produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat
untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk
memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara
multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya.
Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal
spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi
masyarakat tidak dapat diformulasikan secara generik.
Menurut
Hafidz dan Budiharga (2004), pendampingan rakyat tidak hanya sekedar upaya
peningkatan akses terhadap sumber daya dan meningkatkan kesejahteraan. Lebih
dari itu, pendampingan rakyat adalah suatu proses yang mengupayakan agar kedua
hal itu bisa didapat dan terus berlangsung. Proses pendampingan rakyat, sebagaimana
dipahami, mengharuskan anggota kelompok yang didampingi untuk terlibat sebagai
partisipan dalam proses. Mereka tidak bisa hanya menjadi penerima pasif dari
kegiatan pendampingan atau proyek, tetapi harus dapat meningkatkan kemampuan
mereka sendiri untuk memahami dan memecahkan permasalahan mereka.
Lebih
jauh, pemberdayaan tidak akan terjadi secara sungguh-suungguh jika mengabaikan
permasalahan gender. Dalam hal ini peningkatan kesejahteraan dan akses atas
sumberdaya tidak boleh justru menimbulkan kekerasan fisik atau marginalisasi
(peminggiran atau pemiskinan), atau pun penambahan beban atas salah satu jenis
kelamin atau lainnya. Kesadaran kritis, partisipasi dan kuasa yang bertambah
juga harus dapat menghilangkan stereotipe dan subordinasi gender. Dengan kata
lain, terpenuhinya kebutuhan praktis dan strategis seseorang atau sekelompok
orang haruslah dilakukan bersamaan dengan perubahan pada pembagian beban, kuasa
(tidak ada subordinasi), meratanya peluang, hilangnya perlakuan kekerasan, dan
stereotipe antara laki-laki dan perempuan.
Tabel 2.1 Kerangka
Pemberdayaan Masyarakat
Tingkat
Pemberdayaan
|
Uraian
|
Langkah
Pemberdayaan
|
Permasalahan
|
Kuasa
|
Tingkat
tertinggi dari keadilan dan pemberdayaan
|
Perwakilan
setara, peran aktif dalam pembangunan, diakuinya sumbangan per se, membangun
tujuan yang luhur
|
Bagaimana
kegiatan yang ada dapat dipertahankan dan mengembangkannya ke tingkat yang
lebih tinggi
|
Partisipasi
|
Perempuan dan
lelaki telah mencapai tingkatan dimana mereka dapat mengambil keputusan bersama
secara sama
|
Pengorganisasian,
bekerja dalam kelompok, suara dan kepentingannya semakin didengar dan
diperhatikan
|
Cara apa yang
harus digunakan?
|
Penyadaran
|
Kesadaran bahwa
permasalahan yang dihadapi bersifat struktural dan berasal dari adanya
diskriminasi yang melembaga
|
Kesadaran bahwa
perubahan takkan terjadi jika bukan mereka sendiri yang mengubah & bahwa
peran mereka sangat penting
|
Apa yang harus
dilakukan?
|
Akses
|
Menyangkut
kesetaraan dalam akses terhadap sumber daya dan manfaat yang dihasilkan oleh
adanya sumber daya
|
Kesadaran bahwa
tidak adanya akses merupakan penghalang terjadinya peningkatan
kesejahteraan
|
Mengapa kita
mempunyai permasalahan?
|
Kesejahteraan
|
Menangani hanya
kebutuhan dasar tanpa mencoba memecahkan penyebab struktural yang jadi
masalah
|
Pemberdayaan
mencakup kehendak untuk memahami permasalahan yang dihadapi dan
kebutuhan diri
|
Apakah
permasalahan kita?
|
Sumber: Hafidz dan
Budiharga (2004)
III. MODEL PEMBERDAYAAN
Berikut
ini adalah beberapa model pemberdayaan masyarakat kecil di Indonesia, yakni:
Model Grameen Bank, Model Inkubator, Community based Development, hingga Model
BMT Kube.
III.1. Pemberdayaan Masyarakat Model Grameen Bank
Konsep
Grameen, berasal dan berkembang dari negeri Bangladesh. Bangladesh dengan
penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia.
Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan
berpendapatan perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah
penduduk keseluruhan.
Bangladesh
adalah “simbol kemiskinan Asia” sehingga “pakar kemiskinan” seluruh dunia
merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan
negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh, microcredit
atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh
dianggap sebagai negara tempat kelahiran “ilmu kredit mikro” (microcredit
science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen
Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus. Grameen Bank (GB)
kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan
kemiskinan yang selanjutnya direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Sekitar
10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita
mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16
keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik
anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan
diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua
sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank: disiplin,
bersatu, berani, dan bekerja keras.
GB
yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan Bangladesh,
menjadi bukti keprihatinan seorang Guru besar ekonomi Prof. M. Yunus, untuk
membantu mengatasi kelaparan (famine) yang luar biasa yang menelan
jutaan korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974. Meskipun kemiskinan penduduk
Bangladesh sesudah “pembebasan dari penjajahan” Pakistan mengerikan, namun
kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang
secara kejiwaan mengejutkan seorang Muhammad Yunus yang sebagai Doktor ekonomi
muda tamatan Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak
dapat menggunakan ilmu ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.
III.2. Pemberdayaan Masyarakat Model Inkubator
Secara etimologik, inkubasi berasal dari bahasa kedokteran yang berarti pematangan
dari suatu gejala, baik gejala penyakit maupun tingkat pertumbuhan janin (bayi)
di dalam rahim ibunya. Sehingga sering kita lihat di Rumah Bersalin, dokter dan
perawat memberi perlakuan yang berbeda bagi bayi yang terlahir prematur melalui proses inkubasi.
Pengertian ini kemudian diadopsi oleh disiplin ilmu Biologi yang mendefinisi
inkubasi sebagai proses penetasan bibit, baik bibit tanaman, benih ikan
(contohnya penetasan ikan Patin, melalui penghangatan benih/telur ikan di
sebuah akuarium dengan kadar kehangatan dan waktu tertentu), maupun penetasan
telur unggas yang juga melalui proses penghangatan sebagai substitusi proses
alami pengeraman telur tersebut dari induknya.
Secara sistemik, inkubator bisnis merupakan suatu wahana transformasi
pembentukan sumber daya manusia yang tidak atau kurang kreatif dan produktif
menjadi sumber daya manusia yang memiliki motivasi wirausaha secara
kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif sebagai langkah awal dari
penciptaan wirausaha yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif serta
memiliki visi dan misi.
Dalam sebuah makalah seminar tentang Inkubator Bisnis (Novel, 2001) inkubator
bisnis diproposisikan sebagai suatu sarana pembentuk, penumbuh dan penetasan
usaha berskala menengah, kecil dan koperasi melalui penyediaan fasilitas sarana
dan prasarana, struktur dan infrastruktur, administrasi sampai akses jaringan
usaha dan informasi serta akses jaringan modal/pembiayaan. Inkubator bisnis
memiliki cakupan komunitas yang saling berintegrasi dalam operasi dan
aktivitas, yaitu: wirausahawan, perguruan tinggi, lembaga pembiayaan,
konsultan bisnis, penasihat hukum bisnis (business
legal counsel), swasta, BUMN/BUMD, pemerintah melalui instansi-instansi
teknis terkait, dan lembaga swadaya masyarakat. Paradigma inkubator bisnis
adalah bagian dari the new economy
global, yang terjadi karena adanya perubahan yang cepat dan signifikan di
bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi; adanya deregulasi dan
globalisasi. Perubahan tersebut memaksa adanya perubahan di setiap pelakunya
-mulai dari skala negara, perusahaan hingga individu.
Inkubator bisnis wujud pada era the new
economy yaitu suatu era ekonomi yang terdiri dari banyak fenomen yang
saling berinteraksi dan ber-relasi dalam mewujudkan tujuan. Salah satu wujud
dari Inkubator Bisnis adalah SOHO (small
office home office) yaitu sebuah konsep bisnis kontemporer yang lahir karena
adanya perkembangan di bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi, yang
dapat memberikan kemudahan bagi para pengambil keputusan dari mana saja. Selain
itu kehadiran dan keberadaan inkubator bisnis dalam new economy mampu membantu menciptakan mekanisme pasar yang
persuasif dan kondusif, karena berbisnis melalui proses inkubasi pada
gilirannya menjadikan persaingan sebagai sebuah kemutlakan.
Pola penciptaan new entrepreneur dan
pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi melalui inkubator bisnis dilakukan
dengan cara pembinaan di bawah satu atap (in-wall)
dan secara pembinaan di luar atap (out-wall).
Selanjutnya, kedua pola tersebut disebut sebagai model penciptaan dan pembinaan
inkubator bisnis. Model yang pertama bersifat klasikal, yaitu kegiatan
pelatihan, pemagangan, sampai dengan perintisan usaha produktif dilakukan di
dalam satu unit gedung. Setiap peserta atau anggota (tenant) melakukan aktivitasnya di dalam ruangan masing-masing yang
telah disediakan oleh inkubator bisnis. Sementara, pada model inkubator yang
kedua, aktivitas usaha ekonomi produktif tidak dilakukan dalam satu atap,
melainkan secara terpencar di luar pusat manajemen inkubator bisnis. Hal
tersebut dimungkinkan karena pada model kedua ini wujud dan kegiatan usaha sudah
berjalan, inkubator bisnis berfungsi sebagai konsultan, pendamping, dan pembina
kegiatan usaha. Sehingga, pada model yang kedua ini lebih cenderung menyerupai
jaringan kerja (business networking).
Gambar 3.1
Backward Integration Approach
Sumber: Noval (2001)
III.3. Pemberdayaan Model Community-based Development
Dalam definisi
formal menurut PBB, commmunity development (CD) adalah “… a process
whereby the efforts of Government are united with those of the people to
improve the social, cultural, and economic conditions in communities” (PBB,
2005). Dengan kata lain, capacity development adalah sebuah
proses usaha-usaha bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam upaya meningkatkan
kondisi sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat.
Secara umum, community development adalah
suatu konsep yang luas, yang mencakup berbagai bentuk upaya dengan
mengaplikasikan teori dan praktek berupa kepemimpinan lokal (civic leaders),
activists, dan melibatkan warga dan kalangan profesional untuk
meningkatkan berbagai sisi kehidupan dari komunitas lokal. Dalam prakteknya,
para pelaksana melakukan identifikasi permasalahan, mempelejari sumberdaya
setempat, menganalisa struktur kekuasaan lokal, mengidentifikasi kebutuhan
masyarakat, dan berbagai hal lain di masyarakat tersebut.
Pendekatan community
development didefinisikan tahun 1948 untuk menggantikan istilah pendidikan
massa di Inggris. Mereka mendefinisikannya sebagai “… suatu gerakan yang
dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komounitas melalui partisipasi
aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisitaif masyarakat. Hal ini
meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik
dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga non pemerintah
(pengembangan masyarakat) harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan
harus behubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat” (Adi,
2003). Di Amerika Serikat, community development berakar dari
disiplin ilmu pendidikan, terutama pendidikan di tingkat pedesaan, yaitu
perluasan dari Rural Extension Program pada akhir abad ke 18.
Dalam prakteknya,
usaha-usaha untuk mengimplementasikan CD adalah melalui konsentrasi kepada
aktifitas, sumber daya , dan fasilitas yang ada, dan membentuk dasar-dasar
sehingga pada masanya nanti komunitas setempat dapat mengontrol sendiri masa
depannya. Community development merupakan pembangunan dari bawah (bottom
up), sebagai lawan dari pendekatan social planning yang top down.
Namun, konsep CD tidak semata-mata masalah atas-bawah. Satu hal yang penting
adalah terjadianya redistribusi tanggung jawab dan otoritas, serta penggantian
kekuasaan (shift in power). Konsep ini merupakan kritik dari pendekatan
pembangunan yang menggarap manusia secara individu demi individu.
Dalam
perkembangannya, istilah community development lalu difokuskan kepada
aspek-aspek tertentu. Karena itu dikenal “Community Economic Development” (CED),
dengan tekanan pada lebih kepada aktifitas ekonomi. CED bertolak dari kondisi
dan bekerja untuk komunitas setempat (citizen-led), didedikasikan kepada
peningkatan kehidupan melalui distribusi kesejahteraan (wealth distribution),
pengurangan kemiskinan (poverty reduction), dan penciptaan lapangan
kerja (job creation). Untuk mendukung aktifitas bisnis setempat, maka
penyediaan infrastruktur merupakan bagian yang penting.
Penjelasan di atas
memperlihatkan bahwa CD memiliki makan yang luas. Selain menjelaskan bagaimana
operasionalisasi di lapangan, CD sesungguhnya lebih sebagai kerangka berpikir,
serta sikap untuk berpihak. Konsep capacity building dapat diposisikan
sebagai alat, dimana CD sebagai semangatnya atau ideologinya. Ringkasnya, capacity
building adalah salah satu cara untuk mengimplementasikan CD.
III.4. Pemberdayaan Masyarakat Model Baitul Mal wat
Tamwil (BMT) Kube
Perkembangan
Baitul Mal wat Tamwil (BMT), dimulai sejak awal 1990-an dengan berdirinya baituttamwil di Masjid Salman ITB. BMT
dalam perjalanannya kemudian dikembangkan oleh Pinbuk (Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil) sejak 1995 yang hingga sekarang telah ada 3200 BMT di Indonesia.
Berlainan dengan Grameen Bank (GB), BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
bersifat unit sistem. BMT didirikan oleh lebih dari 20 pendiri, mengurunkan
modal awal, dan beroperasi umumnya hanya di sekitar tempat pendiriannya. Jadi,
BMT lebih otonom dalam pengelolaannya. Pada Desember 2005, dibentuklah Asosiasi
BMT se-Indonesia (Absindo) oleh Kongres Nasional BMT I. Maksudnya adalah agar
BMT-BMT terjaring dalam suatu jaringan kerja yang lebih produktif. Di samping
itu, BMT beroperasi dengan sistem bagi hasil, sementara GB beroperasi dengan
sistem bunga.
Sejak
2003, sebagai proyek percontohan, Pinbuk bekerja sama dengan Departemen Sosial
RI, telah mengembangkan BMT Kelompok Usaha Bersama (Kube) dengan menerapkan
metodologi GB. Jika di GB kelompok diorganisasi dalam kelompok beranggota 5
orang, BMT Kube diorganisasi beranggotakan 10 orang. Hal ini dikarenakan Kube
telah dikembangkan oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1980-an beranggotakan
10 orang. Hanya saja, belum diorganisasi menjadi lembaga keuangan mikro seperti
BMT (Aziz, 2006).
Proyek
percontohan yang dilakukan Pinbuk bersama Depsos ini, dijalankan dengan
terlebih dahulu menyosialisasikan konsep Kube dan BMT. Kube dibentuk setelah
dilakukan identifikasi keanggotaan oleh pendamping, dan kemudian calon-calon anggota
bersepakat mendirikan Kube. Anggota-anggota diharuskan mengikuti pra pelatihan
wajib himpunan (PWH), konsultasi antarpendamping dan anggota untuk memantapkan
pembentukan Kube.
Setelah
PWH, tiga Kube didampingi untuk melakukan pertemuan rumpun dengan pendampingan
dan diadakan dalam periode yang disepakati. Lama pertemuan 90 menit, di mana
dilakukan selain simpan pinjam, pencatatan, juga ada ikrar anggota, ikrar
pendamping, penguatan ruhiyah, dan bertukar pengalaman. Pinjaman dilakukan
dengan metode 3-3-3-1, ketua yang terakhir. Setelah rumpun berjalan sekitar 6
bulan, ketua-ketua Kube dengan mengajak para dermawan yang ada di desa itu,
mendirikan BMT. Setelah berdiri, BMT melakukan usaha penggalangan dana simpanan
dari anggota dan Depsos, menurunkan dana kemitraan yang dititipkan pada BMT
Kube yang telah dibentuk itu.
Dalam
tahun anggaran 2004/2005 telah dikembangkan 97 BMT Kube yang mencakup 1.969
Kube, 23.798 kepala keluarga, dengan memanfaatkan dana kemitraan dari Depsos
sebesar Rp 31,6 miliar. Sementara itu, dana tabungan masyarakat miskin sendiri
sebesar Rp 5.216.349.543 yang terhimpun di BMT-BMT dan dimanfaatkan sebagai
dana pinjaman untuk pengembangan usaha para fakir miskin. Mereka juga telah
memupuk dana iuran kesejahteraan sosial sebesar Rp 80 juta, sehingga total aset
dari 97 BMT Kube menjadi Rp. 37.051.743.962. Selain model-model pemberdayaan
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa model lain yang biasa digunakan
untuk mendekati permasalahan kemiskinan khususnya tentang
penguatan/pemberdayaan masyarakat miskin, seperti pemberdayaan model modal
ventura, model P4K, dan lain sebagainya. Tentunya dengan karakteristik dan
metode yang satu sama lain, berbeda.
IV.
KONSEP GRAMEEN
IV.1. Grameen adalah Yunus
Grameen
di bawah Yunus banyak melakukan ‘gebrakan’. Gebrakan Yunus yang paling berani
adalah kepercayaannya yang luar biasa pada kaum miskin. Ketika mengawali
program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat seorang manajer bank yang
bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum
miskin karena risiko macetnya sangat besar. Yunus membantah: “Mereka sangat
punya alasan untuk membayar Anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi
dan melanjutkan hidup esok harinya. Itulah jaminan terbaik yang bisa Anda
dapatkan: nyawa mereka”. Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi
Grameen Bank.
Gebrakan
lainnya adalah keputusannya memfokuskan kucuran pinjaman Grameen kepada
perempuan. Perempuan miskin di Bangladesh memiliki kedudukan sosial yang paling
rawan. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum yang tak
tertulis mengatakan ibulah yang pertama akan mengalaminya. Namun bagi Yunus,
perempuan miskin terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan jauh lebih baik
dalam proses membangun kemandirian daripada laki-laki. Perempuan miskin
memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membebaskan diri dan
keluarganya dari kemiskinan. Prioritas seorang perempuan saat memperoleh
pendapatan adalah menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya dan
keadaan rumah tangganya. Laki-laki memiliki prioritas yang sangat berbeda, yang
lebih terpusat pada dirinya sendiri. Meningkatkan kesejahteraan perempuan
miskin bagi Yunus berarti menyelamatkan generasi.
Yunus
adalah seorang profesor ekonomi yang mengaku muak dengan teori-teori yang
diajarkannya sendiri. Walau demikian, ada satu rigiditas ilmiah yang tetap
dipegangnya seperti ditegaskan Prof. Robert Lawang, yakni soal metodologi. Pertama, Yunus mengidentifikasi akar
permasalahan kemiskinan dengan benar. Setelah dengan seksama mempelajari
kemiskinan di desa Jobra dekat kampusnya, Yunus akhirnya paham bahwa dampak
terparah kemiskinan dipikul oleh kaum perempuan. Untuk itulah program kredit
mikronya difokuskan terutama untuk perempuan.
Kedua, mencoba memahami
masalah dari sudut pandang pihak yang mengalami masalah. Jika kita memakai
sudut pandang ahli-ahli pembangunan dari Barat, mungkin kita berpendapat bahwa
orang menjadi miskin karena tidak terampil, tapi Yunus mendapati bahwa orang
miskin tidak butuh pelatihan keterampilan. Mereka butuh dana mendesak dan
fleksibel.
Ketiga, penyelesaian
yang digagas Yunus tidak serta merta berskala besar dan muluk-muluk. Gagasan
kredit mikronya diujicoba lebih dulu dalam skala kecil di desa Jobra. Berhasil
di Jobra tidak lantas membuatnya menggeneralisir bahwa idenya manjur dalam setiap
konteks. Ia coba lagi di Tangail yang masih tingkat desa tapi konteksnya
berbeda. Setelah itu ia menyebarkannya di skala nasional, lalu ke negara-negara
yang perekonomiannya mirip Bangladesh, kemudian ke negara kaya yang kondisi
masyarakatnya jauh berbeda.
Keempat, penyelesaian
masalahnya bersifat struktural. Penting digarisbawahi bahwa Yunus bukan
“bagi-bagi uang”. Yunus mencangkokkan gagasan Grameen ke cabang-cabang bank di
seantero Bangladesh sambil melakukan lobi politik untuk meloloskan UU Grameen Bank,
yang memungkinkan adanya bank dengan struktur kepemilikan dan cara beroperasi
yang sangat berbeda dengan bank konvensional di Bangladesh, bahkan di dunia.
Dengan UU inilah para nasabahnya yang tak beralas kaki bahkan buta huruf itu
bisa menjadi pemegang saham dan komisaris Grameen Bank (dengan kepemilikan
saham 93 persen). Inilah yang membedakan program pengurangan kemiskinan sejati
dengan reality show televisi.
IV.2. Analisis Reflektif atas Grameen
Berikut
ini adalah beberapa sorotan dari isu-isu yang cukup menarik diketahui tentang
konsep pemberdayaan Grameen Bank, analisis reflektif filosofis tentang ilmu
pengetahuan, tentang masyarakat dan pemerintah, hubungan antarkelas sosial yang
tidak kenal ampun, tentang agama dan dehumanisasi dan juga tentang kemiskinan
dan Hak Asasi Manusia (Lawang dalam Yunus, 2007).
Pertama, Muhamad Yunus
adalah dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University di Bangladesh yang
menggugat ilmu ekonomi yang dipelajarinya selama ini. Dia “tinggalkan” ilmunya
itu, lalu bergaul dengan realitas orang miskin dan kemiskinan desa Jobra yang
bertetangga dengan universitasnya. Akhir dari pergulatan itu adalah sebuah
konsep pembangunan atau konsep mengatasi kemiskinan yang dia sebut dengan
istilah “kewirausahaan sosial” (social entrepreneurship), yang berhasil membawa
perubahan multidimensional pada masyarakat miskin khususnya kaum perempuan.
Kisah orang besar kembali berulang di sini: apa yang oleh kaum kapitalis
dianggap sebagai sebuah kebodohan dan kemalasan, atau oleh birokrat sebagai sebuah
ketidakmungkinan, atau oleh kaum religius sebagai kutukan, oleh Yunus malah
dijadikan sebuah laboratorium hidup di mana kekuatan dahsyat orang miskin
(perempuan) menampakkan dirinya sebagai alternatif yang pantas diperhitungkan.
Dengan intervensi belasan sen dolar Amerika saja dia mampu menyaingi intervensi
lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar.
Kedua, Yunus berhasil
membongkar kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi-institusi
seperti: pendidikan, pemerintahan, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang
selama ini ikut ‘membiarkan’ kemiskinan itu tidak teratasi. Kepalsuan itu
sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri juga, saat sadar bahwa dirinya bukan
apa-apa dari segi ilmu yang digelutinya selama ini, dari segi kedudukannya
sebagai dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University. Kepalsuan ini dia bongkar
dengan membawa realitas kemiskinan perempuan menjadi bagian dari satuan acara
perkuliahan (SAP) di luar kelas, membuat warga kampus seluruhnya sebagai
‘mahasiswa’ yang harus belajar dari orang miskin sebagai dosen-dosennya, dan
mengubah konsep kampus yang terikat pada bangunan-bangunan gedung yang
menjauhkan diri dari pokok permasalahan riil menjadi interaksi-interaksi sosial
yang langsung bergelut dengan pokok permasalahan.
Ketiga, Yunus juga
membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif terhadap orang
miskin (khususnya kaum perempuan) seperti yang terlihat dari praktik perbankan,
mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional. “Apartheid finansial”
adalah konsep yang cocok menggambarkan diskriminasi institusional yang
dilakukan oleh sistem perbankan di mana-mana. Rasionalisme berasaskan logika
kapitalisme menjadi bagian dalam melaksanakan dan mempertahankan ‘politik
apartheid’ ini. Rasionalisme mungkin mencerahkan, tetapi logika belum tentu.
Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang sangat ketat: (1)
Bank harus untung dari usaha deposito dan kredit, tanpa membedakan apakah uang
itu didepositokan dan dipinjam oleh orang kaya atau orang miskin, yang penting
memenuhi prinsip-prinsip ekonomi yang sangat rasional. (2) Dengan premis ini
maka kredit yang dikucurkan adalah kredit dalam jumlah besar yang menguntungkan
bank, yang hanya dapat dilakukan oleh orang kaya saja. (3) Oleh karenanya,
adalah tidak rasional dan tidak juga ekonomis jika bank meminjamkan uangnya
dalam jumlah kecil.
Keempat, kepalsuan
religius yang bercampur dengan adat dan kepentingan diri atau kelompok yang
antikemanusiaan itu sangat memuakkan. Yunus adalah seorang Muslim yang taat
beribadah, mempunyai perhatian penuh terhadap orang miskin terutama perempuan
Bangladesh yang sangat menderita. Dia juga seorang Bangladesh yang menghargai
sopan santun. Penolakan terhadap sistem perbankan Grameen dengan argumentasi
kotor yang dicari-cari adalah sebuah kepalsuan sosial ekonomi yang justru
bertentangan dengan nilai-nilai religius dan adat itu sendiri. Dari sini kita
belajar bahwa perubahan sosial itu menuntut keterlibatan semua orang
(multi-stakeholder). Di sekitar kita masih cukup banyak kepalsuan-kepalsuan
religius, di mana Allah yang sering disebut-sebut justru adalah “allah
materialisme”, “allah kekuasaan”, dan bukan Allah yang sebenarnya.
Kelima, kepalsuan
humanisme menunjuk pada rasionalisasi atau logikalisasi pikiran yang sangat
simplistik demi melayani atau menguntungkan kaum laki-laki penganggur di
Bangladesh. Argumentasi logisnya dalam bentuk retorika: mengapa kepada
perempuan diberikan pinjaman padahal banyak laki-laki yang sangat membutuhkan?
Pertanyaan balik yang tak kalah logis: mengapa masih banyak laki-laki yang
tidak mendapat pinjaman dari bank? Atau mengapa laki-laki pada umumnya tidak
setia pada janji untuk melunasi utangnya? Yunus berhasil membongkar kepalsuan
orang-orang yang sok manusiawi itu, dengan tetap konsisten pada pendiriannya
bahwa memberikan kredit pada perempuan sudah terbukti mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangga dan memperluas cakrawala mereka lewat pembentukan
kelompok lima (yang mirip dengan sistem tanggung renteng di Indonesia).
Keenam, sumbangan Yunus
yang paling besar artinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan adalah metodologi.
Dia menilai bahwa dengan pendekatan makro yang disebutnya dengan istilah “mata
burung” (seringkali juga orang menyebutnya dengan istilah pandangan halikopter:
halicopter view) hanya mampu
memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak rinci tentang kemiskinan.
Pengalaman membuktikan bahwa pendekatan ini tidak mampu mengurangi angka
kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Sebaliknya, Yunus memakai “mata
cacing” yang melihat tanah dari jarak yang amat dekat, hampir-hampir menyatu
dengan tanah yang dijelajahinya secara pelan-pelan.
Ketujuh, konsep
pembangunan atau lebih tepatnya program pengentasan kemiskinan itu harus
didefinisi ulang. Pembangunan dalam konteks Grameen Bank adalah sebuah proses
perubahan sosial-politik-ekonomi yang kompleks, di mana bagian yang satu tidak
dapat dipisahkan dari yang lain. Dengan pengalaman selama puluhan tahun, Yunus
dapat membuktikan pula bahwa civil
society (dan khususnya perempuan miskin) merupakan kekuatan yang dapat
melaksanakan program besar yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah.
IV.3. Objektivisme Islam atas Grameen
Islam
adalah agama fair dan objektif. Jika suatu hal baik, ia akan katakan hal itu
baik, dan sebaliknya. Model Grameen –meski terdapat hal-hal yang a-syariat, tak
bisa dipungkiri ia juga memiliki karakter positif. Berikut ini adalah beberapa
poin yang penulis anggap signifikan sebagai dalil pernyataan di atas.
#1 Pro Poor System
Kunci
pertama yang GB miliki adalah selalunya ia bergerak dan bermain dengan rakyat
lemah. Mungkin bisa kita katakan: Dari miskin, oleh miskin, untuk miskin.
Strategi ini akan sangat efektif dan ampuh diterapkan khususnya di negara yang
struktur masyarakatnya dominan dengan kemiskinan (mayoritas NSB, Negara Sedang
Berkembang). Namun tidak juga menutup kemungkinan, negara maju pun bisa saja
memakainya. Karena negara sekaliber Amerika Serikat, struktur orang miskinnya
tetap ada, bahkan tidak bisa dibilang sedikit.
#2 Right
time-Right place-Right man
Ada
poin penting yang perlu diperhatikan. GB tidak serta merta ketiban pulung
sukses melainkan ada pula faktor yang tak bisa dikesampingkan: Right
time-right place-right man. Right time karena pada waktu itu Bangladesh
berada pada titik nadir akibat bencana famine yang ganas. Bahkan kala itu baru
saja merdeka. Akan lain cerita jika GB tumbuh pada saat-saat masa penjajahan
atau saat kondisi ekonomi sosial masyarakat telah establish. Right place karena
di Bangladesh itulah segala bentuk kemiskinan ada. Dalam bahasa lain, andai
Grameen Bank diterapkan di Indonesia atau Malaysia, belum terjamin
perkembangannya akan sepesat dan sefenomenal seperti saat ini, karena struktur
dan jumlah masyarakat miskin yang berbeda. Right man karena sang pendiri dan
penggagas GB adalah seorang doktor ekonomi yang memang paham betul teori-teori
ekonomi dan kemiskinan.
#3 Konsep yang
Sederhana
Rahasia
lain mengapa GB mampu menjadi solusi kemiskinan adalah konsepnya yang sangat
sederhana. Simpel dan mudah dipahami bahkan oleh orang yang tidak mengecap
pendidikan sekalipun. Bukan berdasarkan teori ekonomi njlimet yang
membuat orang mengernyitkan dahi. Coba saja simak ‘sixteen decisions’ berikut
ini. Sixteen decisions adalah enam belas norma-norma organisasi atau semacam
janji setia anggota yang harus dipegang erat-erat untuk dilaksanakan secara
rutin dan gradual oleh para anggota GB. Isinya antara lain: We shall bring
prosperity to our families. We shall not live in dilapidated house. We shall
grow vegetables all the year round. We shall plan to keep our families small.
We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for
their education. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we
allow anyone to do so. We shall always be ready to help each other. If anyone
is in difficulty, we shall all help. We shall take part in all social
activities collectively, dan lain-lain. (dari artikel Tantangan Ilmu
Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan, Mubyarto, 2004)
#4 Prinsip GB =
Prinsip Islam
Jika
secara cermat kita amati dan analisis, ke-16 janji setia (sixteen decisions)
tersebut berujung pangkal ke dalam nilai-nilai inti berikut: kesederhanaan
konsep, kegigihan berusaha, kemandirian, kerja keras, kepedulian terhadap
pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan, dorongan untuk berbuat adil
dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan, hingga dorongan untuk
berwirausaha. Nilai-nilai tersebut sejatinya adalah nilai-nilai islam yang
sesungguhnya. Atau dalam makna lain, nilai dan norma yang Grameen Bank miliki
adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai yang agama Islam promosikan. Hal
ini menjadi wajar dan amat bisa dipahami karena Muhamad Yunus yang notabene
aktor tunggal GB adalah seorang intelek yang beridentitas muslim.
#5 Mendobrak Mapan
Selain
faktor-faktor di atas, ada hal lain yang tidak kalah penting dan strategis yang
menjadi determinan kunci keberhasilan GB: bahwa M. Yunus dengan GB-nya telah
berhasil mendobrak pandangan umum yang berlaku, atau dalam bahasa yang lebih
ekstrem, mendobrak mapan. Yunus berhasil menjungkir balik tesis yang
menyebutkan bahwa orang miskin itu adalah golongan masyarakat yang akan sukar
melunasi pinjaman jika mereka diberikan kredit. Secara telak, melalui konsep
pemberdayaan ekonomi masyarakat via Grameen ini, tesis tersebut tak lagi laku
dijual. Fakta mencatat NPL atau kredit macet GB tidak melebihi angka 3 %.
Sebuah pembuktian baru yang sukar terbantahkan. Selain itu, pandangan umum yang
mengatakan bahwa si miskin tidak akan bisa memperjuangkan nasibnya sendiri
sehingga harus melulu dibelaskasihani orang kaya yang baik hati, juga tidak
menemukan kesesuaiannya. Grameen memberi jawaban yang mencengangkan: orang
miskin juga bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari kubangan kemiskinan.
IV.4. Kritik Syariah untuk Model Grameen
Meski
secara prinsip yang tertuang dalam ‘sixteen decisions’ relatif ideal dan tak
ada celah noda, ada beberapa kritik yang bisa dialamatkan kepada GB. Pertama,
GB masih mengakui eksistensi bunga. Hal ini menjadi noda terbesar dan paling
nampak jelas terlihat. Bahkan angkanya pun tidaklah bisa disebut kecil, yakni
hingga 30%. Dua, jika secara teliti kita amati, GB bersifat womensentris
artinya ia berorientasi hanya kepada golongan ibu rumah tangga yang notabene lebih
cocok dengan naluriahnya sebagai pengurus dan pengayom keluarga. Bukan sebagai
pencari nafkah dengan meminjam modal kemudian bekerja. Ini pula dapat diartikan
bahwa GB bersifat elitis. Ketiga dan tidak kalah penting, GB masih
merupakan subordinat dari satu komando bank besar di Bangladesh. Lain halnya
dengan kasus BMT di Indonesia yang merupakan kelembagaan masyarakat lokal.
Jika
kita melakukan komparasi dengan kasus di Indonesia, maka ada hal menarik yang
bisa diperbandingkan. Mengapa perjuangan ekonomi syariah Indonesia yang dimulai
sejak tahun 1992 belum menunjukkan hasil yang memuaskan, padahal hingga saat
ini telah terhitung 15 tahun lamanya, sementara GB dengan hanya waktu 10 tahun
saja (1976-1980an) telah mampu mencapai prestasi yang tidak sederhana:
membebaskan jerat kemiskinan penduduk Bangladesh? Padahal yang pertama telah
dengan benar menggunakan konsep bagi hasil, sedang yang kedua masih bergelimang
bunga? Yang pertama masih belum berhasil menurunkan struktur masyarakat miskin
yang hingga saat ini terhitung sekitar 40 juta jiwa (18%), sedang yang kedua
telah sukses mengentas miskin dengan jumlah yang hampir sama? Nampaknya ada
yang salah dengan perjuangan ekonomi syariah kita.
V. KESIMPULAN
Setelah
dicermati secara seksama, maka dari kajian ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan pokok yang penting, yakni:
Bahwa pemberdayaan
adalah suatu hal utama yang pokok dan mesti dilakukan oleh siapapun, tak
terkecuali. Pemberdayaan sangat lekat dengan ‘term’ kemiskinan dan oleh
karenanya kita perlu berupaya memberdayakan masyarakat agar terjauh dari bala
‘miskin’.
Grameen yang
fenomenal itu, sedikit-banyak pada beberapa hal memiliki kesesuaian dengan
prinsip-prinsip yang Islam promosikan: kegigihan berusaha, kemandirian, kerja
keras, kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan,
dorongan untuk berbuat adil dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan,
dan dorongan wirausaha.
Meskipun demikian,
ada beberapa hal yang Islam garis bawahi untuk dikritisi, seperti masalah bunga
yang masih relatif tinggi, womensentris dan kekurangidealan bentuk kelembagaan.
Sebagai saran
untuk penelitian selanjutnya, nampaknya perlu dilakukan telaahan yang lebih
mendalam terkait dampak riil institusi Grameen bukan hanya an sich ekonomi, namun juga sosial, ideologi hingga hankam.
Daftar Pustaka
Asmorowati, Sulikah, 2005, “Dampak
Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan: Analisis Pengadopsian Model Grameen
Bank di Indonesia”.
Aziz, M. Amin, 2006, “Model
Pemberdayaan Fakir Miskin”, Surat Kabar Republika, 6 Desember 2006.
Azizy, A Qodri, 2008, “Pemberdayaan
Berbasis Agama”, Makalah.
Bahan Kuliah PPS SP ITB, “Konsepsi
Pemberdayaan Masyarakat”, Bandung.
Hafidz, Wardah dan Budiharga, Wiladi,
2004, “Model Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender”, Makalah.
Hutomo, Mardi Yatmo, 2000,
“Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan
Implementasi”, Naskah Juni-Juli 2000.
Kuncoro, Mudrajad, 2008, “Grameen Bank
dan Lembaga Keuangan Mikro”, Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Sabtu, 2 Agustus
2008.
Mubyarto, 2004, “Tantangan Ilmu Ekonomi
dalam Menanggulangi Kemiskinan”, Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM.
Noval, Dean, 2001, “Inkubator Bisnis
sebagai Salah Satu Sarana Pewujud Misi Perguruan Tinggi”, Makalah pada Seminar
Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta.
Rizal, Sofyan, 2007, “Ekonomi Islam,
Ekonomi Kerakyatan dan Peran Pemerintah”, Makalah.
Soetrisno, Noer, 2004, “Pengembangan
Lembaga Keuangan Syariah Menuju Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Makalah pada
Silaturahmi Nasional 30-31 Agustus 2004, Graha Wisata Mahasiswa, Rasuna Said,
Jakarta.
Suarja, Wayan, 2007, “Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat Melalui Program Pemberdayaan KUKM”, Makalah pada Konvensi
Nasional Media Massa se-Indonesia, 8 Februari 2007, Samarinda.
Syahyuti, 2005, “Penerapan Pendekatan
Pembangunan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rancangan Program Primatani”,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Yunus, Muhammad, 2007, Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen
Bank Memerangi Kemiskinan, diterjemahkan oleh Irfan Nasution, Depok: Marjin
Kiri.
- See
more at:
http://jurnalekis.blogspot.com/2011/01/pemberdayaan-masyarakat-la-grameen.html#sthash.qEkuSgy5.dpuf
Halo, nama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800.000.000 (800 JUTA ) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.